Hidup di dalam sistem sosial yang baik dan bersih adalah merupakan aspektasi dan cita-cita setiap orang. Sistem yang baik berarti sistem yang tertata dengan rapih, sistematis dan memiliki daya operasional yang sinergis dan yang terpenting adalah memiliki aspek keseimbangan (checks and balances) secara sistemik. Sedangkan sistem yang bersih adalah, implementasi dari seluruh harapan setiap orang yang menghendaki agar sistem yang sudah baik tadi tidak dinodai oleh tangan-tangan “kotor”, terjaga dari segala bentuk penyelewengan baik yang terstruktur ataupun tidak, serta tetap berjalan sesuai koridor aturan yang semestinya. Disisi lain,Good Governance adalah suatu penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan prinsip demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political framework bagi tumbuhnya aktivitas usaha.” (World Bank).
Mengingat konteknya adalah sistem sosial struktural, maka hakekatnya tidak selalu identik dengan sebuah lingkaran kekuasan an sich (authority power minded), atau dalam penafsiran yang lebih bebas; bahwa tidak semestinya obyek ini hanya kita pokuskan pada satu pilar dari sekian banyaknya segmen sosial yang ada, dan apalagi jika pilar itu kita patok hanya pada pemerintah saja. Akan tetapi obyek ini seharusnya juga terkait dengan pilar yang “diperintah” (baca; rakyat), sehingga kemudian dalam mengemban tugas penciptaan sistem yang baik dan bersih tidak saja menjadi tanggung jawab salah satu segmen secara dikotomis, tapi juga bagi semua pilar tersebut. Namun memang akhirnya secara efesien harus muncul political will dari pemerintah untuk secara sungguh-sungguh dan tidak setengah hati merealisasikan misi ini. Oleh karenanya, aspek pemerintah sebagai objek menjadi sangat kental dalam topik bahasan ini.
Paparan singkat ini akan mencoba memberikan sebuah analisa kritis secara epistemologis bagaimanakah sebuah pemerintahan (government) dapat dikatakan baik dan bersih, mungkinkah hal tersebut diwujudkan, sementara stigma kekuasaan yang telah begitu identik dengan budaya “penghalalan segala cara” dapatkah kita tepis,?
Lalu akhirnya secara “percaya diri” kita katakan, bahwa kemungkinan terciptanya sebuah pemerintahan yang baik dan bersih bukanlah sebuah utopia. Maka dari itu, untuk mewujudkan cita-cita pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean government), hanya bermakna bila keberadaannya ditopang oleh lembaga yang melibatkan kepentingan publik. Jenis lembaga tersebut adalah sebagai berikut:Pertama Negara Menciptakan kondisi politik, ekonomi dan sosial yang stabil., Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan, Menyediakan public service yang efektif dan accountable, Menegakkan HAM. Kedua Sektor Swasta Menjalankan industry, Menciptakan lapangan kerja, Meningkatkan standar hidup masyarakat., Mentaati peraturan dll. Ketiga Masyarakat Madani Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi, Mempengaruhi kebijakan public, Sebagai sarana checks and balances pemerintah, Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah.
Dari berbagai macam lembaga tersebut, Jika kita sadari bersama tugasnya, maka pemerintahan yang baik dan bersih akan terwujud. Manakala disertakan dengan prinsip-prinsip seperti Partisipasi Masyarakat, Tegaknya Supremasi Hukum, Transparansi. Akuntabilitas, dan Visi Strategis.
Dari prinsip-prinsip di atas, maka dapat disimpulkan bahwa wujud daripada Good Governance adalah penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara/pemerintah (state), sektor swasta (private sector) dan masyarakat (society). Sektor negara/pemerintah lebih banyak memainkan peran sebagai pembuat kebijakan, pengendali dan pengawasan. Sektor swasta lebih benyak berkecimpung dan menjadi penggerak aktivitas di bidang ekonomi. Sedangkan masyarakat merupakan obyek sekaligus subyek dari pemerintah maupun swasta.
Indikator buruknya kerja birokrasi pada umumnya berfokus pada terjadinya korupsi di dalam birokrasi tersebut. Indonesia dari waktu ke waktu terkenal dengan tingkat korupsi yang tinggi. Pada tahun 1998, siaran pers Tranparansi Internasional, sebuah organisasi internasional anti korupsi yang bermarkas di Berlin, melaporkan, Indonesia merupakan negara korup keenam terbesar di dunia setelah lima negara gurem, yakni; Kamerun, Paraguay, Honduras, Tanzania dan Nigeria. (Kompas, 24/09/1998). Tiga tahun kemudian, 2001, Transparansi Internasional telah memasukkan Indonesia sebagai bangsa yang terkorup keempat dimuka bumi. Sebuah identifikasi yang membuat bangsa kita tidak lagi punya hak untuk berjalan tanpa harus menunduk malu (Hamid Awaludin, Korupsi Semakin Ganas, Kompas, 16/08/2001).(
Dari kondisi tersebut, bahwa perlunya kita menyadari secara bersama untuk mengontrol semua elemen yang ada dalam negeri ini. Proses pengontrolan secara bersama pemerintahan yang baik dan bersih akan terwujud.
Penulis : Kord. Grilya
0 komentar:
Posting Komentar