Minggu, 27 Februari 2011

0
ISLAM HISTORIS DAN A HISTORIS/NORMATIV

1. Pengertian Islam Historis dan a Historis/Normativ

Islam historis sebagaimana di jelaskan oleh Amin Abdullah dalam bukunya studi islam; normativitas/historisitas ? mengatakan bahwa, islam historis merupakan islam yang memuat nilai-nilai kesejarahan yang built in yang mengiringi perkembangnannya. Atau dengan kata lain islam historis merupakan islam yang di lihat dari perspektif kesejarahan. Sebagai contoh keterlibatan suatu peristiwa yang menyebabkan sebuah ayat al-Qur’an turun adalah aspek kesejarahannya, sedangkan ayat yang turun itu merupakan aspek normativ islam yang kedudukannya adalah absolute, sehingga kebenaran yang ada di dalam al-Qur’an merupakan kebenaran yang pasti. Sedangkan Islam Normative di maknai sebagai islam yang datang un sich memuat nilai-nilai, aturan, etika yang murni dari Tuhan tanpa adanya intervensi manusia.
Aspek historis islam memuat nilai-nilai subjektif, sedangkan islam normative memuat seperangkat nilai-nilai yang kebenarannya absolute. Sebagai sebuah teks, al-Qur’an tidak dapat menghindari diri dari adanya proses penafsiran. Proses penafisran inilah yang memungkinkan seorang mufassir tidak dapat terhindar dari kerangka subjektif yang di milikinya. Baik dari aspek sosiologis, ideology, antropologi, psikologi, pendidikan, penglaman dan lain sebagainya. Sehingga bisa di pastikan tidak ada haasil tafsir yang kedudukannya benar-benar benar. Dengan kata lain, al-Qur’an yang memuat seperangkat nilai-nilai hidup manusia, merupakan pedoman yang kebenarannya absolute, sedangkan penafsiran atas al-Qur’an itu merupakan hal yang relative. Terkait dengan hal ini, M.Shofan menyatakan pemahaman yang harus kita berikan kepada al-Qur’an harus bersifat relative absolute. Ia relative karena produk nalar yang serba terbatas, namun memiliki nilai absolute kareena yang di kaji dan di imani adalah firman Tuhan.
Istilah islam histories sendiri banyak di kemukakan oleh para pemikir islam kontemporer dan menjadi tema sentral mereka. Di Indonesia sendiri, istilah ini sering di pakai oleh Prof. Amin Abdullah (sekarang Rektor UIN Jogjakarta ) untuk memebahasakan ada begitu banyak dimensi dalam islam. Dimensi-dimensi yang secara tidak langsung tidak kita sadari telah menyatu ada dalam kehidupan ummat beragama. Menyerap masuk dan mengembang dalam kesejarahannya. Di salah satu tulisannya, ketika memberikan kata pengantar di salah satu buku serial tentang pemikirian islam, Amin Abdullah mengatakan “selain cirri dan sifat konvensionalnya yang memang mengasumsikan bahwa persoalan keagamaan hanyalah semata-mata persoalan ketuhanan, agama juga terkait erat dengan persoalan historis cultural yang juga keniscayaan manusia belaka. Selain itu Nasr Hamid Abu Zayd pemikir asal Mesir ini juga sangat intens berbicara tentang sisi-sisi normativitas dan historisitas islam. Menurutnya wilayah teks asli islam : al-Qur’an dan sunnah otentik merupakan sisi normative islam yang kebenarannya pasti. Sedangkan penafsiran para ulama terhadap teks asli tersebut merupakan sisi historis islam. Selanjutnya Abdullah Saeed, menjelaskan sisi normative islam yang tidak boleh di ganggu gugat adalah nilai-nilai pokok dari ajaran islam, sedangkan penafsiran terhadap nilai-nilai pokok tadi bersifat historis yang relative. Sementara itu Fazlurrahman pemikir asal Pakistan menyebut normativitas islam dengan high tradition dan low tradition untuk historisitas islam. Dan pemikir islam lainnya yang juga sering di anggap sebagai pelopor neo-mu’tazilah asal Indonesia, Harun Nasution, dalam bukunya “islam di tinjau dari berbagai aspeknya” dengan begitu sangat cerdas membagi dimensi histories islam dan a histories/normativ dalam dua bab yang berbeda. Bab II bercerita tentang islam yang di lihat dari aspek iadat, latihan spiritual, dan ajaran moral yang bersifat absolut. Sedang pada Bab III khusus berbicerita tentang islam dari aspek sejarah dan kebudayaannya sebagai bagian dari historisitas islam yang bersifat relativ.
Sebagai sebuah agama, islam tidak hanya di dasarkan kepada wahyu yang bersifat transcendental, tetapi di sandarkan pada proposisi logika dalam menafsirkan wahyu tersebut. Sangatlah mustahil, islam akan menjadi agama besar seperti sekarang ini, jika tidak memberikan porsi yang memadai terhadap akal. Bahkan al-Qur’an jelas-jelas mengatakan bahwa sebuah kezaliman bagi mereka yang tidak menggunakan akalnya untuk berfikir. Agaknya tidak bisa di pungkiri bahwa berlangsungnya pertentangan antara kelompok literal dan liberal dalam kancah pemikiran islam, berpangkal dari sikap mereka terhadap al-Qur’an.
Di tangan ummat islam khususnya, kehadiran teks al-Qur’an telah melahirkan pusat pusaran wacana ke-islaman yang tak pernah berhenti, bahkan gelombangnya semakin membesar, yaitu sebuah gerak sentripetal dan sntrifugal. Gerak sentrfugal di maksud adalah karena teks-teks al-Qur’an itu ternyata mempunyai daya dorong yang sangat kuat bagi umat isslam untuk melakukan penafsiran dan pengembangan makna atas ayat-ayatnya yang untuk selanjutnya, terjadilah pengembaraan intelektual karena dorongan al-Qur’an tersebut. Adapun gerak sentripetal adalah seluruh wacana keislaman yang telah berlangsung selama berabad-abad dan telah melahirkan sekian banyak tafsir dan komentar mengenai pelbagai bidang persoalan hidup yang sekuler, namun upaya untuk selalu meujuk kepada al-Qur’an juga semakin kuat. Dengan demikian bisa di pastikan perilaku keberagamaan umat beragama tidak bisa lepas dari pengaruh teks agama berikut panafsirannya. Wajar kalau kemudian fenomena fundamentalisme, radikalisme, fanatisme, bahkan ekstremisme umat beragama bermula dari penafsiran teks yang serba formalistik simbolik sehingga terkesan kaku, rigid dan tidak fleksibel.
Fenomena fundamentalisme beragama merupakan respons langsung terhadap modernisasi dan sekularisasi. Modrnisasi bagi muslim konservatif, umumnya di anggap sebagai sesuatu yang setali tiga uang dengan Westernisasi. Kecendrungan untuk menolak nilai-nilai modernitas di yakini Nasr Hamid Abu Zayd seorang pemikir islam dari Mesir, merupakan akumulasi dari kesangsian terhadap nilai-nilai modernitas yang sebenarnya bertentangan dengan islam. Modernitas dalam pandangan kelompok ini di anggap sebagai embrio mekanisasi manusia dan pada gilirannya mengeliminasi dimensi spiritual manusia. Pada dasarnya fundamentalisme islam bergelora melalui penggunaan bendera jihad untuk memperjuangkan agama persis yang di ungkapkan Kimball, jihad dalam kerangka menegakkan perintah suci Tuhan yang di anggap pelakunya sebagai jalan suci. Pertanyaannya, apakah semua tindakan kekerasan dengan mengatasnamakan perintah Tuhan, benar-benar tepat seperti yang di kehendaki oleh Tuhan sendiri ? atau jangan-jangan hanyalah berdasar ego semata untuk menghegemoni umat yang selanjutnya menggiring mereka menuju kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok tertentu?.
pembahasan mengenai islam historis dan normative ini sangat penting, mengingat kebanyakan umat islam tidak mampu memahami mana batasan-batasan wilayah normative islam yang tidak boleh di ganggu gugat, dan mana wilayah islam yang bisa di dialogkan. Sehingga “ke-elokan” islam meminjam bahasanya M.Syafi’I Ma’rif menjadi kelihatan sangat kabur. mengetahui batasan-batasan historis dan normative islam menjadi kebutuhan kita umat islam saat ini. Timbulnya konflik dan pertentangan terhadap perbedaan ideology, perbedaan sikap idealismenya adalah buntut dari ketidakmampuan kita untuk memahami wilayah-wilayah yang boleh di jadikan discourse islam dan yang tidak. Lihat saja konflik internal umat sendiri. Di tataran fiqhiyah ada berapa Firqah yang bersitegang mempertahankan ego atas tafsir yang di lakukannya. Selain itu di kubu ekstern umat juga tidak kalah tegang. Islam menyerang Kristen dan sebaliknya, yahudi membantai umat islam di Pakistan, pengusiran Jama’at Ahmadiyah dengan tanpa memperhitungkan nilai-nilai kemanusiaan. Merupakan contoh kecil dari ketidakmampuan kita untuk melihat batasan-batasan wilayah historis dan normative islam. Sebagai bentuk konkrit untuk memahami dimensi historis islam ini, adalah praktek sholat.. Secara normative sholat Shubuh ada dua rakaat tanpa Tanya. Sedangkan Qunut yang di anggap oleh sebagian orang adalah perkara sunnah merupakan persoalan historis yang sangat subjektif. Karena ia sifatnya historis, maka tidak perlu ada permasalahan apakah seseorang mau menjalankannya atau tidak. Persoalan normative islam merupakan persoalan Tuhan semata tanpa Tanya. Sedang persoalan historis islam membutuhkan pertnyaan dan pengkajian lebih lanjut. Dan disinilah letak discourse islam selanjutnya.
2. Hubungan antara kekerasan yang mengatasnamakan agama dengan pola pemahaman keberagamaan kita
a. Fundamentalisme Islam
Istilah Fundamentalisme, pertama kali muncul pada kalangan penganut Kristen (Protestan) di Amerika Serikat sekitar tahun 1910-an. Istilah ini di pakai oleh kaum Protestan amerika awal untuk membedakan diri dari kaum protestan yang lebih liberal. Sejak saat tulah “fundamentalisme” di pakai secara bebas untuk menyebut gerakan-gerakan Purifikasi (pemurnian ajaran) yang terjadi di berbagai agama dunia. Kendati demikian, semua gerakan fundamentalisme memiliki pola-pola tertentu.
Fundamentalisme merupakan mekanisme pertahanan (defense mechanism) yang muncul sebagai reaksi atas krisis yang mengancam. Di lihat dari akar munculnya fundamentalis Al-asymawi dalam buku al-islam al-siyasi sebagaimana di kutip oleh Shofan mengatakan bahwa istilah fundamentalisme awalnya berarti umat Kristen yang berusaha kembali ke asas ajaran Kristen yang pertama. Term ini kemudian berkembang lalu di sematkan pada setiap aliran yang keras dan rigid dalam mneganut dan menjalankan ajaran formal agama, serta ekstrem dan raikal dalam berfikir dan bertindak. Hingga komunitas islam yang berkarakter demikian kena imbas di sebut fundmentalisme, dan istilah fundamentalisme islam-pun muncul.
Dalam perjalanannya, istilah fundamentalisme ini di lebarkan untuk semua gerakan revivalisme islam. Lalu kemudian di sempitkan untuk gerakan muslim radikal/ekstrem/literal/garis keras. Dan penyempitan inilah yang sering di jadikan sebagai relation meaning bagi kata muslim fundamentalis. Ada sejumlah asumsi terkait dengan fenomena fundamentalisme. Salah satunya di berikan oleh Ulil Abshar Abdalla Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), mengtakan bahwa ada sejumlah asumsi dalam fundamentalisme, pertama, dan ini yang paling berbahaya (tentu berbahaya dalam pandangan Non-Fundamentalis) adalah bahwa manusia bias memahami secarra praksis kehendak Tuhan , yaitu melalui kitab suci. Apa yang tertera dalam kitab suci dengan benar dan persis, dengan sendirinya kita akan melaksanakan kehendak dan keinginan Tuhan. kedua, kitab suci sepenuhnya bersifat Ilahiyah tidak memuat pengaruh-pengaruh yang sifatnya histories, karenanya kalau tidak mengikuti ketentuan-ketentuan hukum Tuhan ada dalam al-Qur’an seperti hukum potong tangan bagi yang mencuri, dia melawan hukum Tuhan.

b. Pluralitas sebagai Sunnatullah
Dalam konteks islam, pluralitas di yakini sebagai ketentuan ALLAH SWT yang bersifat alamiah (sunnatullah). Sebagaimana di nyatakan dalam surat al-Hujurat (14:13). Oleh karena itu secara teologis ada dorongan untuk menerima secara positif pluralitas, termasuk pluralitas agama. Namun dalam tataran empiris menunjukkan fakta bahwa semakin plural sebuah masyarakat maka semakin rawan pula untuk terjadinya konflik. Artinya dalam tataran empiris lebih banyak terjadi justru efek neegatif dari pluralitas. Terbukti dengan banyaknya terjadi ketegangan dan konflik dalam masyarakat karena perbedaan-perbedaan keyakinan agama. Hubungan yang tidak harmonis , ketegangan dan konflik antar kelompok solidaritas keagamaan masih terus terjadi di berbagai tempat hingga kini, baik antar warga masyarakat yang berbeda agama maupun pemeluk agama yang sama, namun berbeda versi pemaahaman, aspirasi atau idealisme keagamaannya.
Dalam konteks ke-indonesiaan yang di kenal sebagai bangsa yang memiliki keragaman etnis, bahasa, budaya dan agama. Dari segi etnis tidak kurang dari 400 ribu buah dengan bahasa masing-masing. Sedangkan dari segi agama, jumlah agama yang di nyatakan abash secara legal formal oleh pemerintah, yaitu, Budha, Hindu, Islam, Kristen dan Konghucu. Legalitas itu secara tegas di ungkapkan dalam UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-massing dan untuk beribadah menurut keyakinan dan kepercayaannya itu. Maka tak pelak pula potensi munculnya kekerasan yang mengatasnamakan agama selalu ada.
Pengakuan terhadap pluralisme agama dalam sebuah komunitas social menganjurkan di kedepankannya prinsip inklusivitas (keterbukaan), suatu prinsip yang mengutamakan akomodasi dan bukan konflik di antara mereka. Sebab, pada dasarnya masing-masing agama mempunyai berbagai klaim kebenaran yang ingin di tegakkan terus. Sedangkan realitas masyarakat yang ada terbukti heterogen secara cultural dan religius.
Pluralisme aadalah fakta social yang selalu ada dan telah menghidupi tradisi-tradisi agama-agama. Walau demikian, dalam menghadapi dan menanggapi kenyataaan adanya berbagai agama yang demikian pluralistik itu. Agaknya setiap umat beragama tidaklah monolitik, mereka cenderung menempuh cara dan tanggapan yang berbeda-beda, yang jika di ktegorisasikan terbelah menjadi dua. Pertama, kelompok yang secara mutlak menolak gagasan pluralisme agama. Mereka biasanya di sebut sebagai kelompok ekslusiv (the other name). dalam memandang agama orang lain kelompok ini seringkali menggunakan standar-standar penilaian yang di buatnya sendirinya sendiri untuk memberikan vonis dan meenghakimi orang lain. Standar ganda dalam menilai sesuatu akan menyebabkan yang satu eksis dan dan lainnya kehilangan eksistensi dirinya. Mereka memilki kecendrungan membenarkan agamanya sambil menyalahkan orang lain. Memuji agama diri sendiri seraya menjelekkan agama yang lain. Kedua, kelompok yang menerimaa pluralism agama sebuah kenyataan yang tak tehindarkan. Kelompok ini biasanya berpandangan agama semua nabi adalah satu. Mereka menganut pandangan tentang adanya titik semu persamaan sebagai benang merah yang mepersambungkan seluruh ketentuan doctrinal yang di bawa oleh setiap nabi. Bagi kelompok kedua ini cukup jelas bahwa yang membedakan ajaran masing-masing adalah dimensi-dimensi yang bersifat teknis-operasional.

C. Hermeunetik; upaya menggagas agama Nir-kekerasan
Otonomisasi teks
Berawal dari sebuah ungkapan Arab “al muhaafazatu ‘ala qadimi as-shalih wal-akhzu bil jadid asl-ashlah”. Artinya memelihara tradisi-tradisi lama yang baik, yang masih relevan dengan perubahan serta mengambil hal-hal baru untuk meperbaikinya. Maka sub dari temadi atas pun hadir ke tengah-tengah pembaca. Hermeunetik pada dasarnya adalah suatu metode atau cara untuk menafsirkan symbol yang berupa teks atau sesuatu yang di perlakukan sebagai teks untuk di cari arti dan maknanya, dimana metode hermeunetik ini mensyaratkan adanya kemampuan untuk menafsirkan masa lampau yang tidak di alami, kemudian di bawa ke masa sekarang.
Ketika ada begitu banyak permasalahan keagamaan yang muncul, seringkali di kaitkan dengan pola pemahaman yang di anut. Asumsi demikian kiranya benar ketika secara langsung umat memahami kterlibatannya ketika menjalankan nilai-nilai agama yang di dasari oleh pemahaman mereka terhadap kitab suci. Proses pemahaman inilah yang mau tidak mau melibatkan faktor-faktor subjaktif dari sang penafsir. Anehnya, dari subjektifitasnya inilah dia kemudian melahirkan....................

Penggunaan hermeunetika dalam penafsiran teks-teks keagamaan, belakangan mendapatkan perhatian yang cukup intensif. Kajian-kajian hermeunetis terhadap teks-teks keagamaan memang menjadi penting, ketika perjalanan kehidupan beragama seringkali tidak bisa melepaskan diri dari ketegangan antara konteks dan teks. Hermeunetik membantu membedah proses pemahaman (understanding), penafsiran (interpretation) dan penerjemahan (translating) atas sebuah teks, baik tertulis ataupun tak tertulis, untuk selanjutnya di sampaikan kepada masyarakat yang hidup dalam dunia yang berbeda. Berkembangnya wacana pembumian kitab suci di hampir semua agama-agama dunia ketika memasuki dunia modern, juga memaksa al-Qur’an sebagai kitab suci umat islam untuk mengikuti metode yang sama. Hal ini dirasa sangat penting, mengingat kompleksitas masalah yang semakin menjamur di era modernisme ini. Masalah-masalah baru yang sebelumnya tidak pernah ada, memaksa islam sebagai agama rahmat lil ‘alamin untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan tersebut. Guna menjalankan agenda tersebut, maka alternatif yang sangat solutif yang mungkin biasa di perbuat adalah dengan merubah tafsir keagamaan yang selama ini di anut secara konvensional ke penafsiran yang cukup terbuka dan toleran. Hal inilah yang di sadari betul oleh para aktivis muda islam yang tergabung dalam jaringan islam liberal (JIL) yang secara intensif mengkaji ajaran-ajaran agama islam supaya bias berdialog dengan konteks dan realitas secara produktif dan progresif. Dalam pandangan mereka, islam akan benar-benar menjadi agama rahmat lil ‘alamin manakala secara empirik islam bisa bersahabat dengan realitas yang setiap saat mengalami perubahan. Dengan kata lain sebagaimana yang di ungkapkan oleh Ulil Absahar Abdalla sebagaimana di kutip oleh Shofan “bagaimana kita bisa hidup sesuai dengan tuntunan teks agama di satu pihak, tetapi di pihak lain kita juga bias menempatkan diri secara kongruen dengan perkembangan-perkembangan kemanusiaan. Bagaimana, di satu pihak kita bisa terus menyesuaikan diri dengan perubahan, tetapi di pihak lain, tetap menjadi muslim yang baik ?”. Jika Islam ingin tetap eksis, maka islam harus di tafsirkan dan di hadirkan secara liberal-progresif dengan metode hermeunetik. Karena dengan metode inilah yang paling memungkinkan sebagai tawaran penyelesaian permasalahan keberagamaan kita yang saat ini sedang mengalami krisis.

0 komentar:

 
LAPMI HMI CABANG MATARAM | © 2010 by DheTemplate.com | Supported by Promotions And Coupons Shopping & WordPress Theme 2 Blog