Tantangan teologi paling besar dalam keehidupan beragama sekarang ini adalah bagaimana seorang beragama biasa mendifinisikan dirinya di tengah-tengah agama lain. Atau istilah yang lebih teknis yang bias di pakai dalam literature kontemporer teologi adalah bagaaimana bias berteologi dalam dalam konteks agama-agama. Di tingkat teologis yangmerupakan dasar dari agama itu, muncul keingungan khususnya menyangkut kita harus mendifinisikan diri di tengah agama-agama lain yang juga eksis dan punya keabsahan. Dengan realitas yang demikian, nampaknya tidak terlalu salah, jika ada penyataan bahwa agama adalah satu realitas yang sangat kompleks. Kompleks memuat berbagai macam entitas. Dalam satu kondisi yang normal, agama memuat seperangkat nilai moral yang di harapkan akan membingkai kehidupan manusia dengan moralitas, spiritualitas dan leih dari itu, agama juga menawarkan satu bingkai transcendental dalam kehidupan manusia. Tetapi tidak jarang, agaa juga lahir dalam satu konteks yang sangat menjemukan, menyeramkan dan bahkan menjadi sumber bencana pada level-level sosiologis, histories, dan praksis. Kondisi inilah yang memaksa sejumlah cendikiawan muslim mencoba untuk menafsir ulang pemahaan tentang islam yang selama ini sudah mapan di pahami oleh kebanykan orang. Gagasan islam transformatifnya muslim Abdurrahman, islam keadilan masdar farid mas’udi, islam actual jalaludin rakhmat, islam substantive azyumardi azra, islam yang memuminya syafi’I ma’rif, islam cultural munir mulkhan, islam pribuminya gusdur adalah contoh menghadirkan islam sebagai geakan social dan sebagai usaha yang panjang untuk menemukan solusi dari kompleksitas masalah-masalah yang di hadapi.
Dalam diskursus keagamaan kontemporer sebagaimana di jelaskan amin Abdullah ketika memberikan pengantar di salah satu buku karya M.SHOFAN “jalan ketiga pemikiran islam” mengatakan bahwa ‘agama” ternyata mempunyai banyak wajah (multi faces) dan bukan lagi seperti orang dulu memahaminya, yakni hanya semta-mata terkait dengan persoalan ketuhanan, kepercayaan, keimanan, kredo, pedoman hidup, ultimate concern dan seterusnya. Namun agama juga terkait erat dengan persoalan-persoalan histories cultural yang juga merupakan” de keniscayaan manusia belaka. Adanya campur aduk dan berkait berkelindannya “agama” dengan berbagai “kepentingan” social kemasyaarkatan pada level histories empiris merupakan salah satu persoalan keagamaan kontemporer yang paling rumit untuk di pecahkan. Terlalu rigid dan kakunya ketika memaha,I pesan-pesan keagamaan tidak jarang membuat agama begitu sanngat mengerikan. Lahirnya kaum fndamentalis adalah buah dari pemahaman yang sangat tekstualis dalam memperlakukan teks. Lihat saja peristiwa runtuhnya menara kembar WTC new york 11 septemer 2001, di susul bom Bali I (12 oktober 2002) yang menewaskan 202 orang, bom di hotel JW.MARRIOT (5 agustus 2003), bom di depan kedubes Australia di jalan HR.Rasuna sai’d Jakarta (9 september 2004) serta bom Bali jilid II (1 oktober 2005).
Fenomena fundamentalisme dan terorisme agama menjadi ancaman sangat serius bagi masyarakat modern. Fenomena berbagai bencana dan tragedy kemnusiaan yang melibatkan agama menurut Kimball sebagaimana yang di kutip M.shofan, tidak lain adalah akibat terjadinya pembusukan dan pengorupsian agama. Setidaknya, menurut dia terdapat lima tanda proses pembusukan dan pengorupsian agama. Pertama, klaim kebenaran. Adanya klaim ini pada gilirannya mendegradasi pemahaman kita terhadap ke- segala –MAHA-an Tuhan. Biasanya hal ini di sebabkan pemeluk agama meyakini bahwa kitab suci mereka memang mengajarkan kebenaran monolitik (tunggal). Kedua, ketaatan buta fideisme terhadap pemimpin agama. Munculnya gerakan-gerakan keagamaan radikal seperti people temple pimpinan jim jones ddi Guyana atau aum shinrikyo di bawah pimpinan david kores di teksas tak elak dari ketaatan buta ini. Ketiga, upaya-upaya membangun zaman ideal. Dalam hal ini Kimball mengaskan jika visi agama tentang zaman ideal itu du wujudkan dan para pemeluknya meyakininya sebagai kehendak Tuhansendiri, maka sebenarnya agama telah terkorup dan karenanya jahat. Keempat, tujuan menghalalkan segala cara. Tanda ini biasanya terjadi pada komponen-komponen agama, baik berkaitan identitas maupun institusi agama. Ambisi menunjukkan identitas agama Kristen, misalnya, telah mengakibatkan pembantaian orang yahudi pada masa nazi. Kelima, adanya ide perang suci yang di anggap seagai jalan menegakkan perintah suci Tuhan yang di anggap pelakunya sebagai jalan suci.
Lahirnya kondisi sepeti itu, tidak terlepas dari hasil pemahaman mereka dalam menginterpretasikan teks suci yang sanngat kaku dan rigid. Akibatnya terjadinya penyempitan makna teks suci oleh para penafsir-penafsir tersebut. Dengan kondisi yang demikianlah penulis berinisiatif untuk memulis makalah ini.
Minggu, 27 Februari 2011
Islam Historis
Label:
Artikel
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar